Koalisi NGO Luncurkan Kampanye Keren Tanpa Sisik

The NGO coalition consisting of PROFAUNA Indonesia, the Indonesian Turtle Foundation (YPI), the Turtle Foundation and Too Rare to Wear launched a campaign entitled “Cool Without Scales” to reduce trade in products containing hawksbill turtles. The national campaign was launched in Denpasar, Bali on Sunday (2/2/2020). It must be mentioned here that the campaign will also have the generous support of The Marketing Heaven, which will provide it with a significant number of likes and views on social media channels to reach as many people as possible.

In the “Cool Without Scales” campaign, the coalition invites active participation from the public to combat the trade in products containing hawksbills by reporting them to YPI via WA number 085879918717 and email jayuli@turtle-foundation.org if they find cases of hawksbill trade . In addition, the community can also help by not buying hawksbill turtle products, which are still sold in many areas.

“Apart from encouraging community participation, we will also encourage and partner with law enforcement officials to tackle illegal trade in products containing hawksbills,” said Muhammad Jayuli, Campaigner for Keren Tanpa Sisik.

The hawksbill turtle ( Eretmochelys imbricata ) in Indonesia is still high, with an estimated economic value of around IDR 5 billion. The latest investigation by PROFAUNA Indonesia’s team has revealed the fact that trade in illegal hawksbill products still occurs in Bali, Nias, North Sumatra and is also sold online.

Most trade in products containing hawksbill shells is sold online. From August to September 2019, the team conducted a survey on 11 online platforms to find out about the hawksbill trade. The eleven platforms surveyed were Facebook, Instagram, Shoppe, Tokopedia, Bukalapak, Carousell, Prelo, Kaskus, Belanjaqu, Blogspot and websites. The results found 1574 advertisements and 199 accounts related to the online trade in hawksbills.

Products containing hawksbill turtles that are sold online include rings, bracelets, necklaces and other accessories. The total number of items offered online is 29,326 items with an estimated monetary value of around IDR 5 billion.

Prices for products containing hawksbill turtles are offered at various prices, starting from IDR 15,000 for a simple ring to millions of rupiah for a hand fan.

 “Apart from the weak law enforcement factor, the reason for the rampant trade in products containing hawksbills is due to the low awareness of the people who are still buying the products. That reason has prompted the NGO coalition to launch a national campaign to persuade people to stop buying products containing hawksbills,” said Rosek. Nursahid, Head of PROFAUNA Indonesia.

The hawksbill turtle is a protected animal species by law. This means that catching or trading them, whether they are alive or body parts such as their scales, is prohibited.

According to Law number 5 of 1990 concerning the Conservation of Living Natural Resources and their Ecosystems, trade in protected animals such as sea turtles is punishable by a prison sentence of 5 years and a fine of IDR 100 million.

Penyu Tersesat Karena Bom Ikan?

Pada suatu hari di Bulan Mei 2019, Kepala Regu Petugas Lapangan Yayasan Penyu Indonesia melaporkan adanya seekor induk penyu hijau (Chelonia mydas) yang tersesat jauh di dalam hutan Pulau Belambangan. Saat itu induk penyu itu ditemukan dalam keadaan tidak bergerak karena badannya terlilit akar dan pergerakannya terhambat oleh anakan pohon yang tersebar luas di hutan di pulau itu.

Kemudian para ranger memutuskan untuk menggiring penyu tersebut ke arah laut dengan membersihkan jalan penyu itu. Proses evakuasi ini berlangsung selama 30 menit sebelum penyu itu berhasil kembali berenang ke laut.

Video penyu betina yang tersesat saat memasuki hutan di Pulau Belambangan

Tidak diketahui secara pasti kenapa penyu betina ini tersesat dan memutuskan untuk masuk jauh ke dalam hutan. Ini adalah kasus pertama yang terjadi di Pulau Belambangan.

Pada tahun 2018 yang lalu, tim kecil YPI dikirim ke Cape Verde – Afrika, untuk studi banding pengelolaan penyu yang diselenggarakan oleh sebuah organisasi lokal yang bernama Fundacao Tartaruga di sebuah pulau yang dinamakan Boa Vista. Di sana ranger YPI melaporkan banyak sekali induk penyu tempayan (Caretta careta) yang tersesat hingga jauh ke daratan. Alasan tersesatnya penyu tempayan di tempat ini adalah karena polusi cahaya yang dihasilkan oleh sebuah hotel milik perusahaan swasta dari Spanyol. Induk-induk penyu tempayan itu kebingungan dengan cahaya lampu yang ada di sana, sehingga masuk ke daratan lebih dalam, kehilangan orientasi arah laut dan akhirnya mati kering oleh panasnya matahari padang pasir Boa Vista.

Tim YPI yang berusaha menyelamatkan penyu tempayan persis di sebuah hotel Spanyol di Pulau Boa Vista

Akan tetapi tidak ada polusi cahaya di Pulau Belambangan itu sendiri, melainkan sumber cahaya terdekat dari menara lampu suar di pulau terdekat sejauh 5 km. Sumber cahaya yang nampak adalah bagan-bagan di Karang Besar Batu Putih dan cahaya Ibu Kota Berau, Tanjung Redeb yang jaraknya ratusan mil dari Pulau Belambangan yang terpencil ini. Jadi kemungkinan penyu tersesat karena disorientasi akibat polusi cahaya, sangat kecil.

Sekedar informasi, pada Bulan Januari 2019 lalu di sepanjang pantai di Israel, ditemukan sekurangnya 96 penyu dengan rincian:

  • 69 ekor penyu tempaya (Caretta caretta)
  • 16 ekor penyu hijau (Chelonia mydas)
  • 11 ekor penyu lain tidak teridentifikasi

Semuanya menderita luka-luka dan dibawa ke Israel Nature & Park Authority (INPA) dan Sea Turtle Rescue Centre (STRC). Semua penyu yang didokumentasikan dalam keadaan hidup dan mati itu dilaporkan oleh masyarakat ke sambungan hotline (INPA), sosial media dan para voluntir STRC.

Triase medis, perlakuan intensif, pengobatan konvensional dan cairan dilakukan oleh tim yang dipimpin oleh Dr.Itzhak Aiznberg. Post mortem juga dilakukan kepada 7 ekor sampel penyu.

CT scan dari penyu-penyu hidup yang terluka menguak sebuah informasi bawa semuanya menunjukan gejala trauma jaringan: pulmonary hemorrhage di paru-parudan pengumpulan cairan (infeksi)  di telinga tengah penyu. Gejala semacam itu biasanya diakibatkan oleh trauma gelombang kejut (dari ledakan) bawah air pada level yang signifikan. Misalnya upaya eksplorasi   minyak bumi oleh kapal-kapal besar yang menggunakan metode peledakan dengan menggunakan udara yang dikompresi dan dilepas dengan sebuah air gun. Kegiatan ini biasanya disebut dengan eksplorasi minyak dengan menggunakan teknik seismik untuk menciptakan sebuah peta riil 3 dimensi.

Sejauh ini tidak ada informasi terkait adanya kegiatan seismik di Perairan Kabupaten Berau, tidak ada potensi gelombang kejut di bawah air. Namun dilaporkan oleh masyarakat dan nelayan bahwa pengeboman ikan masih marak terjadi. Pada tanggal 23 Mei 2019 lalu tim YPI bersama dengan Kepolisian Airud melakukan patroli di Karang Muaras, hanya dalam kurun waktu 30 menit saja terjadi 2 kali ledakan bom yang dapat disaksikan dari jauh. Tim berusaha melakukan pendekatan pada kapal-kapal yang diduga melakukan pengeboman ikan itu namun mengalami kandas karena air surut. Tim hanya mendapatkan beberapa gambar dan video dari drone yang dilepaskan menuju para pengebom itu.

Patroli tim YPI dan Kepolisian Air dan Udara di Karang Muaras, Berau.

Dengan maraknya pengeboman seperti itu sementara dapat diduga kasus tersesatnya induk penyu hijau akibat gelombang kejut dari bom ikan yang melukai telinga tengah penyu yang pada akhirnya mengacaukan navigasi dari penyu-penyu ini.

Perilaku Umum Penyu

Secara umum penyu adalah binatang soliter (penyendiri) yang menghabiskan waktu dengan menyelam dan berenang yang membuat agak susah untuk dipelajari. Mereka sangat jarang berinteraksi antara satu dengan yang lain kecuali untuk kawin. Namun penyu lekang dapat diamati dapat bersarang dengan bersama-sama dalam sebuah kelompok. Namun walaupun sekelompok besar penyu itu berkumpul namun jarang ditemukan bahwa penyu itu melakukan interaksi.

Karena susahnya mempelajari penyu di lautan terbuka, maka masih banyak yang belum terungkap soal perilaku mereka. Setelah beberapa dekade penelitian termasuk observasi di laut terbuka, hal itu telah mengungkapkan beberapa petunjuk tentang rutinitas dan perilaku mereka seperti, bercumbu, kawin dan bersarang.

KEGIATAN SEHARI-HARI

Penyu dikenal makan dan istirahat (tidur) dalam keseharian mereka. Pada musim bertelur, penelitian yang dilakukan di tenggara Amerika Serikat menemukan bahwa penyu tempayan memiliki pola teratur antara pantai peneluran denggan daerah karang di laut. Para peneliti menganggap kawin dan makan bertempat di daerah karang ini. Ketika tidak pada masa bertelur, penyu kemungkinan melakukan migrasi sejauh ratusan hingga ribuan mil. Penyu dapat tidur di permukaan laut atau di bawah air di daerah berbatu di dekat pantai. Banyak penyelam melaporkan temuan mereka terkait penyu yang tidur dibawah cerukan di daerah berbatu. Sementara tukik cendering tidur dengan cara mengambang, dan biasanya dengan flipper (tangan dayung) bagian depan ditaruh di belakan karapas mereka.

BERCUMBU DAN KAWIN

Masa bercumbu dan kawin bagi kebanyakan penyu dipercaya hanya terjadi pada periode “menerima” yang terjadi secara singkat, pada masa awal musim penyu bersarang. Setelah itu penyu betina akan mendarat di pantai, penyu jantan hampir sama sekali tidak mendarat begitu mereka meninggalkan pantai di mana mereka menetas. Pada masa kawin, penyu jantan dapat mencumbu penyu betina dengan cara mengelus kepala penyu betina, atau menggigit dengan lembut leher belakang atau flipper belakang penyu betina. Apabila penyu betina tidak menjauh maka penyu pejantan akan menempatkan diri di belakang karapas penyu betina, memegang bagian atas karapas penyu betina dengan kuku yang tersemat di flipper depan pejantan. Kemudian penyu jantan akan membengkokkan ekornya yang penjang itu ke balik karapas penyu betina untuk bersenggama.

Penyu betina yang diamati di pantai peneluran itu terlihat ada goresan pada karapas, bahkan mungkin berdarah. Luka itu kemungkinan dibuat pejantan yang telah berusaha mengkaitkan flippernya ke karapas betina. Kegiatan sanggama dilakukan baik di permukaan laut ataupun dibawah air. Kadang-kadang beberapa pejantan itu salin berkompetisi untuk mengawini penyu betina, bahkan sampai berkelahi diantara mereka. Para peneliti juga melaporkan bahwa peyu jantan dan betina dapat sangat agresif pada masa ini. Penyu betina dapat kawin dengan beberapa pejantan dan menyimpan sperma mereka hingga beberapa bulan. Ketika pada akhirnya penyu itu meletakan telur, kemungkinan besar telur-telur itu telah dibuahi oleh lebih dari satu pejantan. Perilku ini membantu kekayaan genetik pada sebuah populasi

SARANG, INKUBASI DAN KEMUNCULAN TUKIK

Sangat sedikit diketahui kenapa penyu hanya bersarang di sebagian pantai dan tidak bersarang di pantai yang lain walaupun situasi dan kondisi dari pantai tersebut sama. Distribusi sarang seperti ini mungkin refleksi cerminan masa lalu, dimana suhu, profil pantai, dan jumlah predator pada sejumlah pantai adalah cocok bagi penyu. Belakangan ini manusia mempengaruhi beberapa area tempat peneluran penyu. Erosi terjadi karena pemasangan beton anti ombak, atau pendirian Jeti, penerangan buatan dan perubahan kondisi pantai, semunya itu mempengaruhi situasi pantai yang dahulunya alami. Perubahan ini sepertinya akan mempengaruhi pola bertelur di masa mendatang. Pemahaman yang lebih akan bagaimana, di mana, dan kapan penyu itu bersarang, akan menambah kemampuan kita untuk melindungi habitat peneluran mereka.

PERILAKU BERSARANG

Hanya penyu betina yang bersarang dan pada umumnya dilakukan pada malam hari. Penyu akan keluar dari air dan merangkak, sesekali dia akan berhenti untuk melakukan pengamatan ke berbagai arah. Kadang-kadang dia merangkak ke pantai namun untuk alasan yang belum diketahui dia akan kembali ke laut dan mengurungkan bersarang. Ini disebut jejak palsu atau “false crawl”, hal ini dapat terjadi secara alami atau adanya gangguan dari manusia sehingga induk penyu itu tidak merasa aman. Sekurangnya penyu betina bersarang hingga dua kali dalam satu musim, sementara individu lain (spesies lain) dapat bertelur sekali atau malah sepuluh kali. Penyu adalah satwa yang pelan di darat, dan proses bertelur adalah suatu hal yang melelahkan bagi mereka.

BERTELUR DAN MENUTUPI SARANG

Setelah penyu betina selesai menggali lubang sarang, kemudian dia akan menaruh telurnya di sana. Satu atau dua telur akan jatuh secara bersamaan, lendir akan keluar pada proses itu. Besarnya jumlah telur bervariasi antara 50 sampai 150 telur, bergantung pada jenis spesiesnya. Karena cangkang telur penyu itu lunak maka mereka tidak pecah ketika induk penyu menjatuhkannya ke sarang. Fleksibilitas telur ini memungkinkan penyu membawa lebih banyak telur di dalam perutnya. Induk penyu itu terlihat sedang menitikan air mata, tetapi sebenarnya dia hanya mensekresikan (mengeluarkan) kelebihan kandungan garam dari badannya saja.

Banyak orang percaya bahwa penyu yang bertelur itu berada dalam situasi trans sehingga dia aman untuk “diganggu”. Ini tidak sepenuhnya benar, beberapa penyu akan menggagalkan proses bertelur dan meninggalkan sarang apabila dirinya merasa tidak aman karena diganggu. Karena alasan ini, sebaiknya tidak mengganggu penyu pada saat bertelur. Setelah semua telur sepenuhnya masuk ke dalam sarang, induk penyu itu akan menutupi lubang sarang itu dengan pasir menggunakan flipper bagian belakangnya. Sedikit demi sedikit dengan menggunakan flipper bagian depannya dia menutupi body pit (lubang di pasir untuk badan penyu), untuk menghilangkan jejak sarang. Dengan memporak-porandaka pasir ke segala arah, hal ini akan menyulitkan para predator untuk menemukan sarang itu. Setelah rampung menyamarkan sarangnya, betina itu akan kembali lagi ke laut untuk beristirahat sebelum nantinya akan berteur lagi di musim yang sama, atau sebelum dia pergi untuk melakukan migrasi. Sekali penyu meninggalkan sarang, dia tidak akan kembali untuk menengoknya.

INKUBASI

Inkubasi terjadi dalam kurun waktu rata-rata 60 hari, namun suhu inkubasi ini dapat juga berpengaruh kepada masa infkubasi. Secara umum semakin hangat suhu sarang maka semakin cepat perkembangan sarang dan menetas. Sarang yang lebih dingin cenderung menghasilkan tukik jantan, dan suhu hangat meninggikan rasio jumlah tukik betina.

KEMUNCULAN TUKIK

Tidak seperti bayi buaya yang harus ditolong oleh induknya, tukik harus keluar dari sarang secara mandiri. Untuk menyobek dinding telur itu, tukik menggunakan gigi telur yang tajam yang disebut dengan “caruncle”. Caruncle ini adalah perpanjangan dari rahang yang akan hilang setelah tukik menetas. Proses muncul ke permukaan sarang oleh sekelompok tukik memakan waktu beberapa hari. Biasanya tukik akan muncul ke permukaan pada malam hari atau ketika suhu sudah mulai turun. Sekali mereka memutuskan untuk keluar dari sarang, maka mereka akan “meletus” secara bersamaan. Orientasi tukik-tukik itu adalah bagian paling terang pada horizon, setelah mereka menyadari itu maka mereka akan secepatnya menuju ke laut.

Apabila mereka gagal pergi ke laut dengan cepat, maka kemungkinan mereka akan mati kering akan semakin tinggi, atau dimangsa oleh predator seperti burung dan kepiting hantu. Begitu mereka masuk ke dalam air, maka mereka akan berenang tanpa henti beberapa mil menjauhi pantai, dimana mereka akan “ditangkap” oleh arus laut dan rumput laut, yang akan membawa mereka beberapa tahun sebelum mereka kembali ke pantai itu. Banyak tantangan bagi tukik di laut. Hiu, ikan besar dan burung yang berputar-putar semuanya memakan tukik, dan belum lagi yang mati karena memakan tar dan sampah plastik. Tantangan itu begitu besar bagi penyu sehingga nyaris hanya 1 diantara 1.000 tukik yang berhasil selamat menjadi penyu dewasa.

MIGRASI DAN KEMAMPUAN NAVIGASI

Kemampuan penyu dalam melakukan migrasi yang jaraknya ratusan hingga ribuan kilometer dari ruaya pakan ke habitat pantai peneluran ini adalah sesuatu yang paling mengagumkan dalam kerajaan binatang. Fakta bahwa induk penyu selalu kembali ke tempat di mana dia dulu menetas, menambah kekaguman ini. Riset terkait ke mana dan bagaimana penyu melakukan migrasi, telah menjadi fokus dari para ahli selama bertahun-tahun. Informasi yang mereka kumpulkan itu menjadi vital untuk perkembangan strategi konservasi untuk spesies ini. Kita telah tahu bahwa penyu telah melakukan migrasi sepanjang hidup mereka, yang dimulai dari frenzied swim (berenang gila-gilaan) pada masa awal kehidupan mereka.

Dalam kurun waktu kritis 48 jam, seekor tukik harus secepatnya berenang dari pantai menuju ke laut lepas yang secara relatif lebih aman dari predator, dan di mana tukik dapat menemukan makanan. Banya tukik yang menetas di Atlantik dan Karibia berenang menuju arus teluk yang deras, yang seringkali dipenuhi dengan rumput sargassum. Banyak penyu muda menemukan banyak makanan dengan jumlah predator yang relatif sedikit. Setelah menghabiskan waktu selama beberapa tahun di Samudra Atlantik, tukik yang telah menjadi penyu dewasa akan “pulang” ke tempat di mana dahulu dia ditetaskan.

Penyu remaja tampaknya menghabiskan waktu makan dan bertumbuh habitat pantai mereka menetas. Namun setelah mereka mencapai usia dewasa dan matang secara seksual, maka mereka dipercaya melakukan migrasi ke ruaya pakan yang baru. Ini merupakan ruaya pakan utama bagi penyu dewasa sepanjang hidup, kecuali pada musim kawin. Ketika waktu bagi mereka untuk kawin dan bertelur telah tiba, baik penyu jantan ataupun betina akan bermigrasi lagi ke pantai peneluran. Migrasi seperti ini akan terjadi sepanjang hidup mereka.

NAVIGASI

Di laut yang terbuka, penyu akan menghadapi arus kuat, mereka hanya memiliki kualitas penglihatan menengah, mereka hanya dapat mengangkat kepala mereka beberapa inci keluar dari permukaan air, dan seringkali tidak ada tanda jelas daratan. Bahkan dengan segala kekurangan ini penyu secara reguler dapat melakukan perjalanan jauh untuk menemukan pantai mungil habitat peneluran mereka. Bagaimana mereka dapat melakukan ini adalah sebuah misteri terbesar dalam kerajaan binatang, upaya menemukan jawabannya telah menjadi fokus peneliti dalam beberapa generasi. Teori yang paling dipercaya bahwa penyu sukses melakukan migrasi adalah karena penyu dapat mendeteksi sudut dan intensitas dari medan magnet bumi. Dengan menggunakan kedua hal itu, penyu dapat mengenali bujur dan lintang sehingga mereka secara virtual dapat melakukan perjalanan kemanapun. Penelitian lebih awal menyuguhkan bukti bahwapenyu dapat mendeteksi medan magnet bumi. Terkati bagaimana penyu menggunakan kemampuan ini masih dalam proses penelitian.

MEMPELAJARI MIGRASI PENYU

Perilaku migrasi penyu telah memberikan sejumlah tantangan bagi para peneliti yang bekerja agar sepenuhnya mengerti satwa ini dan bagaimana cara melindunginya. Secara khusus, untuk melakukan perlindungan penyu yang memadai maka kita dituntut untuk mengetahui di mana habitat penyu, bagaimana perilaku penyu ketika mereka berada di sana, dan rute dimana penyu mondar mandir melakukan migrasi. Sebagian besar para peneliti telah bekerja di pantai peneluran – untuk alasan yang cukup masuk akan. Antara lain, area ini adalah yang paling mudah diakses, dan apa yang terjadi di patai peneluran (produksi penyu baru) adalah sesuatu yang sangat penting bagi keselamatan spesies yang terancam punah ini. Upaya konservasi secara umum mudah dilakukan di habitat peneluran.

Namun yang perlu diketahui adalah bahwa dari sekian banyak tempat penyu menghabiskan waktu dalam siklus kehidupannya, penyu sangat sedikit menghabiskan waktu di pantai peneluran. Hampir 90% kehidupan penyu dihabiskan di dalam air, berupa makan, kawin, migrasi dan apapun yang dilakukan penyu yang belum pernah disaksikan oleh orang lain. Sebagai akibatnya ancaman penyu di lautan merupakan tantangan terbesar bagi para pelindung penyu.

Untuk melakukan perlindungan sepenuhnya terhadap penyu, yang pertama harus diselidiki adalah pola migrasi mereka dan perilaku mereka di dalam air. Beberapa metode telah diterapkan oleh beberapa peneliti untuk mengetahui pergerakan mereka. Satu hal yang paling mudah dilakukan adalah menempatkan sebuah benda logam yang disebut dengan “metal tag” pada flipper penyu ketika mereka sedang mendarat untuk bertelur. Setiap metal tag mengandung kode angka dan huruf dan pesan kepada siapapun yang menemukannya untuk melaporkan keberadaan penyu itu. Dengan demikian secara bertahap para peneliti akan belajar tentang tempat-tempat dimana mereka dapat ditemukan. Upaya sekarang difokuskan untuk mengurangi angka pembunuhan penyu untuk diambil dagingnya. Penggunaan metal tag telah memunculkan informasi penting, namun masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.

SATELIT TELEMETRI

Para peneliti akhir-akhir ini telah menggunakan satelit untuk mengetahui keberadaan penyu di laut lepas. Pada awalnya sebuah transmitter berukuran Sony Walkman ditempatkan di karapas penyu dewasa atau penyu remaja. Transmiter itu dilem ke karapas, di belkang kepala, dan sebuah unit dengan antena yang fleksible dapat muncul ke permukaan air untuk mengirimkan transmisi ketika penyu sedang muncul ke permukaan untuk mengambil udara. Sebuah satelit yang kebetulan sedang melintas aka mengirimkan informasi itu kembali kepada para penelit yang ada di bumi. Setelah 8-10 bulan transmiter itu akan berhenti bekerja dan lepas dari penyu secara aman.

Dengan menggunakan peta komputer, peneliti dapat mengetahui kemana penyu melakukan migrasi, rute apa yang diambil oleh penyu itu dan seberapa cepat mereka berenang. Bila peta telah dipenuhi oleh detail, maka dapat juga diketahui karakteristik lokasi penyu. Setelah memonitor sejumlah populasi penyu secara spesifik, para penyeliti secara berkelanjutan belajar tentang letak ruaya pakan utama, dan mengetahui tentang apa yan menjadi acaman penyu di laut itu. Tentunya dengan informasi ini, para pelaku konservasi penyu dapat memfokuskan upaya mereka ke tempat-tempat utama penyu

Tahun-Tahun Yang Hilang

Hingga tahun-tahun yang lalu, para ahli benar-benar tidak tahu kemana tukik-tukik pergi setelah mereka menetas dan mencapai laut. Mereka hanya menebak dan saling berdebat tentang arah tukik dan tahapan apa saja yang dilalui oleh tukik.

Namun tidak lama lalu sekelompok tim peneliti yang dibiayai oleh The Batchelor Foundation telah mengungkapkan rahasia kehidupan mahluk “enigmatic” (penuh dengan teka-teki) ini.

Penelitian itu menitik-beratkan pada upaya memonitor pergerakan tukik dengan mengerahkan sebuah alat satelit telemetri mini yang dipasang pada karapas (punggung) tukik. Syaratnya alat itu harus cukup kuat dan bertenaga konstan sehingga mampu mengirim signal ke satelit, namun juga harus cukup kecil sehingga tidak mengganggu aktivitas tukik itu.

Tim peneliti itu “dipersenjatai” beberapa buah satelit telemetri berukuran super mini sehingga dapat disematkan di punggung tukik yang kecil itu. Namun alat itu cukup bertenaga karena memiliki sistem batery yang disuplai energi oleh panel surya mungil.

Tidak gampang meletakan alat satelit telemetri tersebut di punggung tukik, karena:

  • Tukik terus bertumbuh
  • Kulit di karapas penyu itu terus mengelupas

Bila alat dipasang langsung di karapas tukik itu maka kemungkinan besar alat itu dapat jatuh dan hilang dalam kurun waktu dua minggu saja. Seorang ahli harus melapiskan sebuah pasta khusus untuk menghambat pertumbuhan karapas pada bagian yang akan dipasangkan alat, namun dipastikan tidak mengganggu pertumbuhan tukik. Kemudian alat satelit telemetri itu dipasang dengan menggunakan sebuah lem khusus. Dengan demikian maka dipastikan maka alat akan tetap menempel di karapas tukik hingga beberapa bulan.

Hasil penelitian itu mengungkapkan bahwa ada varian yang besar antara tukik-tukik yang dipasangkan alat. Dalam monitoring itu diketahui bahwa sebagian tukik dapat melakukan migrasi hingga 100 mil dalam 7 hari. Sebuah fakta yang sangat mengagumkan untuk seekor binatang mungil ditengah laut yang ganas.

Namun perlu diketahui bahwa tukik sebenarnya tidak berenang sejauh itu. Tukik itu disebut memiliki gaya berenang pasif, yaitu tukik hanya berenang menjauhi dari pulau atau pantai di mana mereka menetas, kemudian secepatnya masuk kedalam arus laut dan “beristirahat” di sana mengikuti arus kemanapun mereka hanyut.

Yang perlu digaris-bawahi, temuan ini mengungkapkan bahwa tukik itu tidak berenang berputar-putar di sekitaran pantai saja, namun mereka sudah melakukan perjalanan jauh sedari awal mereka masuk ke dalam air.

YPI Mata Duitan…?

Sebelum tergabung dalam Yayasan Penyu Indonesia, para calon ranger diberikan pengertian bahwa mereka itu akan terlibat dalam sebuah kegiatan penting dan mulia yaitu penyelamatan spesies yang terancam punah. Kegiatan ini membutuhkan pribadi-pribadi yang tangguh, loyalitas tinggi dan paham tujuan organisasi.

Selain itu para ranger juga dituntut untuk memiliki jiwa sosial dan bertanggung jawab penuh kepada tim. Hanya pribadi-pribadi ikhlas dan pekerja keras saja yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kegiatan YPI. Harus diakui beberapa calon personil itu gagal bertahan karena kesalahan fatal dalam mengidentifikasikan apa itu YPI.

YPI itu adalah sebuah lembaga non profit yang bergerak dalam perlindungan penyu dan habitatnya. Visinya YPI adalah terjaganya kelestarian penyu dan habitatnya, sehingga dicapai kehidupan yang harmoni antara manusia, alam dan penyu di Indonesia.

Jadi sudah jelas bahwa YPI bukan sekedar lembaga yang cari-cari proyek apa saja yang penting uangnya besar. Kami juga menolak menerima dukungan dana dari perusahaan yang merusak lingkungan. Alokasi pendanaan di YPI diutamakan untuk kepentingan konservasi penyu yang berkelanjutan, bukan untuk menumpuk harta dan kekayaan para staff dan petugas.

Setiap individu yang ingin bergabung dengan YPI harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak hanya bekerja untuk mendapatkan uang, tetapi mereka juga harus hormat terhadap semangat YPI untuk menyelamatkan penyu.

Jadi mohon minggir dulu bagi siapa saja yang ingin berhubungan dengan YPI dengan cara hitung-hitungan. Kami kurang pandai dengan urusan tawar menawar.

Budi Pelaut Tangguh

Namanya Muhamad Ardiyansyah, lebih dikenal dengan sebutan Budi. Pria berdarah Bugis ini adalah contoh nyata manusia pemberani. Sudah berulang kali dirinya membuktikan ketangguhan mental dan karakter pantang menyerah. Kepada YPI, dia telah berulang kali membuktikan keberaniannya itu. Pernah pada suatu musim angin utara yang ditakuti nelayan dan terkenal ganas itu, Budi seorang diri mengemudikan perahu cepat yang bermasalah mesinnya, dalam hantaman gelombang sejauh 100 mil.

Walaupun bermental baja, tapi perangainya itu penuh dengan humor. Dia hobi menggoda kawan-kawan sejawatnya, bahkan bos nya, dengan cara mengungkit-ungkit respon konyol mereka ketika mereka berada dalam kondisi panik. Tentu bekerja di pulau terpencil seperti Belambangan setiap hari anda akan dijenguk situasi panik, macam angin ribut, ombak ganas, kerusakan mesin, luka-luka, serangan binatang buas, orang-orang yang mencurigakan seperti pemburu telur penyu dll.

Bekerja di Yayasan Penyu Indonesia itu tidak hanya untuk sekedar mendapatkan uang, tetapi harus memiliki kecintaan terhadap penyu.

Kasus Keracunan Daging Penyu Mentawai

Kabar duka datang dari Mentawai, Sumatera Barat. Puluhan warga Mentawai keracunan usai menyantap daging penyu saat pesta adat (punen) di Desa Taileleu, Kecamatan Siberut Barat Daya, Minggu (18/2/18). Dari puluhan orang keracunan itu, tiga meninggal dunia, 16 korban masih menjalani perawatan intensif di Balai Kesehatan Desa Taileleu dan dua orang di Puskesmas Siberut Barat Daya.

Lahmuddin Siregar, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Mentawai, mengatakan, kejadian ini bermula saat masyarakat berburu penyu di perairan pantai barat untuk keperluan punen, Sabtu (17/2/18).

Sumber : Mongabay

Dari hasil berburu itu mereka mendapatkan satu penyu cukup besar sekitar 50-60 kilogram dan panjang 1,5 meter. Penyu hasil berburu mereka masak dengan merebus, setelah itu barulah disantap bersama-sama.

Usai menyantap daging penyu, puluhan warga dari empat suku ini mengalami gejala keracunan seperti pusing, muntah, sesak napas, tenggorokan berlendir sampai gatal-gatal. Dua hari kemudian seorang korban dinyatakan meninggal, disusul dua korban lain pada hari berikutnya. Tiga orang meninggal dunia itu berdasarkan data yang diperoleh Dinas Kesehatan Mentawai, satu berumur 66 tahun dan dua balita masing-masing berumur 4,5 tahun dan 2,5 tahun.

Korban keracunan penyu menjalani perawatan intensif di Puskesmas, Foto: Dinas Kesehatan Mentawai

 

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Mentawai, sedikitnya 95 orang terdampak usai mengkonsumsi daging penyu ini.

“Diduga korban mengalami keracunan usai mengkonsumsi daging penyu, ini ditandai mati enam kucing sesaat setelah makan sisa makanan dari bahan penyu masyarakat terdampak,” kata Lahmuddin lewat sambungan telepon.

Dari penuturan warga, katanya, di dalam tubuh penyu ditemukan telur yang sudah mengeras 150 butir. Ini menunjukkan, bahwa penyu sedang fase bertelur  namun Dinas Kesehatan kesulitan melakukan pengecekan sampel karena sudah tak tersisa.

“Sampel sudah habis, paling kalau bisa cangkang kita periksa. Sebelumnya, pemeriksaan sampel keracunan penyu tahun 2013, pada daging penyu positif mengandung arsenik,” katanya.

Saat ini, kondisi mulai tenang, namun Puskesmas meminta warga tidak memakan penyu lagi. “Kondisi mulai stabil,  tenaga medis dan setok obat-obatan cukup.”

Ke depan, katanya, mereka akan kembali mengimbau masyarakat Mentawai tak lagi mengkonsumsi penyu, karena selain beracun, juga salah satu satwa laut langka dan dilindungi UU.

Harfiandri Damanhuri, peneliti penyu dari Universitas Bung Hatta, Padang mengatakan, pantai barat daya tempat kejadian keracunan merupakan tempat pendaratan penyu. Kalau dilihat siklus mereka, saat ini memang fase pendaratan dan peneluran. Fase ini, katanya, biasa sejak November hingga Juli.

Penyu bertelur itu, katanya, sebenarnya sudah matang kelamin. Kalau dilihat panjang mencapai 1,5 meter bisa dikategorikan penyu tua (lebih dari 50 tahun), sudah tiba masa fase bertelur.

Korban keracunan jalani perawatan kesehatan di balai desa. Puluhan warga desa di Mentawai ini keracunan usai konsumsi penyu, tiga orang tewas. Foto: Dinas Kesehatan Mentawai/ Mongabay Indonesia

Dia bilang, arah migrasi penyu pantai barat tak diketahui pasti, tetapi secara genetik, tukik penyu di perairan Pantai Pariaman ada hubungan dengan tukik penyu di Aceh, juga di Mentawai.

“Jika dilihat genetik penyu di Perairan Mentawai,  masuk ke siklus arah Andaman, berputar mengarungi Samudera Hindia. Di Samudera Hindia itu banyak industri, otomatis banyak pembuangan limbah. Itu yang dimakan penyu, masuk ke tubuh.”

Logam-logam berat ini, katanya, terakumulasi dalam tubuh penyu, terus meningkat dan tak berkurang. Makin tua penyu makin besar risiko karena mengandung racun lebih tinggi. “Itu yang dikonsumsi manusia.”

Kasus keracunan daging penyu di Mentawai yang menelan korban jiwa bukan kali pertama. Berdasarkan data Pusat Data dan Informasi Penyu Sumatera Barat, Universitas Bung Hatta, sejak 2005 hingga sekarang, tercatat 37 orang meninggal karena mengkonsumsi penyu.

Kejadian terakhir di Dusun Sao, Pulau Sipora, 24 Maret 2013, menyebabkan 148 orang dilarikan ke rumah sakit, empat meninggal. Di antara korban tewas, ada bayi 11 bulan keracunan melalui air susu ibu.

Berdasarkan penelitian Harfiandri, penyebab keracunan penyu di Mentawai, lantaran dalam daging mengandung arsenik.

“Berdasarkan penelitian kadar toksin penyu lebih banyak dibandingkan ikan,” katanya.

Pada daging penyu terdapat logam berat kadmium tiga kali lipat dibanding ikan dan kandungan merkuri 10 kali lipat lebih tinggi. Penyu juga mengandung arsenik, polutan organik persisten atau campuran berbagai pestisida. Pada daging hewan itu, katanya, juga ada mikroba penyebab tuberculosis dan salmonela.

“Ini konsekuensi dari kebiasaan penyu yang mampu menjelajah samudera. Daya jelajah mencapai 10.000 kilometer.”

Penyu hasil buruan diposting di Facebook pada 18 Februari. 2018. Terlihat telur-telur penyu masih muda di dalam perut penyu. Foto: dari akun Facebook Silainge Mentawai

Saat akan bertelur, penyu biasa datang ke Mentawai karena perairan jernih dan bersih. Setelah bertelur di 300 kepulauan kecil di Mentawai, mereka kembali menjelajah. Wilayah jangkauan penyu, katanya, bisa sampai ke Afrika atau Meksiko.

Dalam perjalanan inilah, penyu bisa memakan logam berat dari alga atau ubur-ubur, yang menjadi makanan utama. Alga adalah jenis tumbuhan air paling banyak menyerap logam berat. Penyu yang dikonsumsi di Mentawai,  rata-rata berusia lebih 50 tahun.

Hampir semua penyu kini mengandung racun jika dibanding era 50 tahun lalu, umur penyu sampai 100 tahun.

“Penyu sendiri tahan racun. Bila dikonsumsi manusia bisa fatal, bahkan masyarakat pedalaman Mentawai ada yang kena tumor payudara di Dusun Tiop. Tumor ini dari logam berat yang terkandung dalam daging penyu. Racun juga dapat masuk ke air susu ibu.”

Soal tradisi berburu penyu di sepanjang pantai barat daya Mentawai, kata Harfiandri,  memang masih sering dilakukan masyarakat.

Di desa ini, katanya,  ada rumah menyimpan sekitar 26 kerapas penyu yang tergantung di dinding. Dilihat dari jenis, katanya, merupakan penyu hijau dengan panjang rata-rata lebih satu meter. Di rumah itu pula jadi tempat mereka berunding memaparkan hasil buruan.

Tangkap penyu dan posting di Facebook

Di tempat berbeda, di Pantai Bataeit,  Kecamatan Siberut Barat,  seorang pemuda Mentawai dengan nama akun Facebook Silainge Mentawai memposting foto-foto penyu hasil buruan. Dari foto yang dia bagikan pada 18 Februari itu terlihat satu penyu dibawa dengan kapal kayu. Tampak puluhan butir telur penyu ditaruh dalam wadah plastik.  Mirisnya, di dalam perut penyu yang dibedah itu terlihat ratusan kuning telur penyu yang menyerupai telur ayam.

Postingan ini mendapat berbagai komentar dari para netizen, termasuk komentar Kepala BPSPL Padang, Muhammad Yusuf.

Yusuf mengatakan, penyu merupakan hewan dilindungi. “Ini kan dilindungi, bisa kena hukum jika tetap mengkonsumsi,” tulisnya di kolom komentar. Hingga berita ini diturunkan, tak ada tanggapan dari si pemilik akun.

Foto utama: (ilustrasi) Penyu buat konsumsi di Mentawai beberapa waktu lalu. Foto: Dokuementasi BPSPL

Telur dari tubuh penyu hasil tangkapan warga. Foto: dari akun Facebook Silainge Mentawai

Mongabay

oleh  di 25 February 2018

Pengendalian Hama Tikus

YPI memiliki ijin kepengelolaan konservasi penyu di Pulau Belambangan semenjak tanggal 11 Februari 2019, dan secara teknis YPI mulai menerjunkan petugas lapangan pada tanggal 28 Februari 2019. Namun jauh sebelum itu, tim survei sudah melakukan peninjauan Pulau Belambangan sejak Tahun 2016.

Kesan pertama tim survei yang mengunjungi pulau ini adalah angker dan kotor. Pulau seluas 9,3 hektar ini memiliki hutan yang masih lebat, tidak dihuni manusia dan pantainya dipenuhi oleh sampah plastik, tidak hanya sampah lokal, namun juga sampah mancanegara macam Malaysia, Filipina dan Cina.

Pada waktu itu tim survei sudah cukup sedih dengan keadaan induk penyu yang akan bertelur diantara sampah-sampah plastik tersebut. Itu masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan dugaan seberapa banyak penyu-penyu itu menelan sampah plastik, atau berapa banyak tukik-tukik yang mati karena terjebak kantong kresek. Tim survei mengira bahwa plastik adalah “predator utama” dan masalah terbesar bagi kelestarian penyu di sini.

Tapi ternyata anggapan tim itu salah. Pada malam tiba tim survey berkemah pada salah satu sudut hutan di pulau itu. Suasananya tidak pernah sunyi karena deburan ombak selalu membuat gaduh. Namun walaupun gaduh seperti itu, anggota tim masih mendengar suara langkah kaki, seolah-olah ada yang mengintai.

Suara tersebut tidak pernah pergi, selalu menyertai sepanjang malam itu. Sewaktu salah seorang tim survey menembakkan senter jumbonya dia melihat beberapa pasang cahaya berlompat-lompat. Ternyata tikus. Pagi hari tim menemukan adanya jejak-jejak langkah mahluk kecil itu memenuhi pasir, setelah diselidiki ternyata tikus-tikus itu sangat ganas karena memakan segalanya, mulai kelomang hingga anak penyu (Tukik).

Tim survei mencatat peristiwa ini sebagai persiapan kunjungan berikutnya ke Pulau Belambangan. Pada kesempatan berikutnya tim YPI membawa sejumlah racun “beras merah” produksi Cina. Di Berau racun ini mahalnya bukan main, namun keefektifannya tidak lagi diragukan. Tikus-tikus itu langsung mati begitu mengunyah beras merah tersebut.

Pernah dalam satu malam sekali pasang racun itu tim YPI dapat membunuh 6 tikus sekaligus. Pada saat artikel ini dibuat sekurangnya lebih dari 60 tikus menjadi korban keganasan racun beras merah tersebut.

Hati-hati, tikus dapat memangsa anak penyu.

Enam tikus dalam satu malam

Kasus Keracunan Micronesia

Kasus Keracunan Masal Micronesia 15 Oktober 2010
  1. Semua jenis penyu memiliki racun yang dinamakan Chelonitoxic, terutama penyu sisik
  2. Istilah keracunan penyu disebut dengan Chelonitoxism
  3. Kandungan di dalam Chelonitoxic itu antara lain:
    • Logam berat (Cadmium dan Mercury)
    • Biotoxic, seperti yang terkandung pada alga biru dan hijau (lyngbyatoxin A from Lyngbya majuscula) yang juga merupakan makanan dari penyu tersebut
    • Campuran senyawa organik pestisida (chlordane and polychlorinated biphenyls)
  4. Dampak dari Chelonitoxism antara lain adalah pusing, muntah, pembengkakan otak, gelisah dan koma.
  5. Walaupun dampak berbahaya dari makan penyu sisik ini terjadi di seluruh dunia, namun masyarakat masih tetap memakan penyu ini.

KERACUNAN MASAL MICRONESIA

  1. Terdapat pesta penyu yang diadakan pada tanggal 15 Oktober 2018 di Micronesia jam 16:00
  2. Pada tanggal 15 Oktober 2010 dilaporkan tiga anak mendadak meninggal dunia dan 20 orang dewasa dilarikan ke rumah sakit setelah mengkonsumsi hidangan dari penyu sisik. Beberapa orang dewasa dilaporkan mengalami radang tenggorokan dan 6 anjing mati
  3. Kasus 1: seorang anak perempuan 5 tahun mengalami mual dan muntah setelah 24 jam makan daging penyu, dirinya mengeluhkan haus yang sangat, tetapi dirinya menolak diberikan minum dalam bentuk apapun. Setelah 36 jam anak tersebut tidak sadarkan diri dan meninggal tidak lama setelahnya.
  4. Kasus 2: adalah seorang balita dua tahun perempuan adik dari Kasus 1. Ibunya mengatakan bahwa balita ini bangun dengan keluhan gatal-gatal, sakit perut dan rewel. Balita ini tenang setelah diberikan ASI oleh ibunya (yang juga mengkonsumsi daging penyu). Beberapa saat setelah pemberian ASI ini balita ini meninggal.
  5. Kasus 3: adalah seorang balita dua tahun laki-laki yang tidak memakan daging penyu, namun mendapatkan ASI dari ibunya yang memakan daging penyu dalam jumlah besar. Anak ini mengalami diare dan meninggal dua hari setelah pesta penyu tersebut.
  6. Kasus 4: adalah seorang laki-laki usia 21 tahun yang memakan penyu dalam pesta tersebut (15 Oktober 2010 pukul 16:00). Setelahnya dia mengatakan mengalami pusing tetapi tidak muntah. Pada malam harinya pria tersebut muntah 10 kali, kemudian tidur. Pagi harinya dia merasa baikan dan pergi melaut. Namun kemudian dia mengalami haematemesis (muntah darah karena pendarahan lambung) dan dievakuasi ke rumah sakit menggunakan kapal. Di dalam kapal laki-laki tersebut meronta dan tidak dapat mengenali keluarganya. Supir ambulance mengaku bahwa laki-laki tersebut berbau aneh yang tidak pernah dia alami sebelumnya. Di rumah sakit dia gelisah dan melakukan perlawanan, sehingga dirinya harus dibius. Dia harus mendapatkan arsupan cairan intravena dan ditempatkan di ruang perawatan intensif. Berdasarkan pengamatan para dokter pasien ini mengalami pembengkakan otak, dan berdasarkan pengamatan syaraf ditemukan bahwa pasien menderita kelumpuhan total dengan tidak ada tanda-tanda kehidupan dari pupil matanya. Keadaannya tetap seperti itu hingga tanggal 21 Oktober 2010 hingga mengalami stress pada sistem pernapasannya dan harus mendapatkan bantuan pernapasan lewat mesin. Kemudian pada tanggal 22 Oktober 2010 pukul 04:00 atas permintaan keluarganya pihak rumah sakit melepas alat bantuan napas mekanik dan meninggal segera setelahnya.
  7. Kasus 5: adalah saudara laki-laki dari kasus 4 yang mengalami pusing-pusing tiga jam dari pesta makan daging penyu tersebut, namun tidak muntah. Dirinya melaporkan rasa haus yang sangat. Pada hari ke 3 dia melaporkan sakit kepala, demam, lemah, disorientasi dan gelisah. Dia segera dilarikan ke rumah sakit dan mendapatkan masukan cairan anti racun di intravena pada tanggal 19 Oktober 2010. Selanjutnya pihak rumah sakit mengatakan bahwa pasien mengalami kegelisahan yang sangat dan melawan sehingga terpaksa dibius. Laki-laki ini meninggal jam 01:00 pada tanggal 21 Oktober 2010.
  8. Kasus 6: adalah anak laki-laki usia 4 tahun yang mengalami muntah pada tanggal 16-17 Oktober 2010. Setelah itu baik-baik saja hingga dirinya melaporkan radang tenggorokan pada tanggal 21 Oktober 2010. Pada pagi hari tanggal 22 Oktober 2010 dia muntah satu kali, pingsan dan kemudian meninggal.

WC Biogas

Pulau Belambangan adalah salah satu habitat peneluran bagi penyu hijau dan penyu sisik di Kepulauan Kabupaten Berau. Secara umum ini masih tertutupi hutan sepenuhnya dengan ketinggian tanah kurang lebih 3 meter diatas permukaan air laut.

Pulau Belambangan adalah salah satu pulau-pulau terpencil di Perairan Berau. Keadaan alamnya masih alami, berhutan dan tidak ditinggali masyarakat.

Letaknya yang sangat jauh dari kota (170 KM dari Ibu Kota Berau) membuat penyelenggaraan program perlindungan penyu di sana menjadi sangat mahal dan sulit. Namun YPI percaya bahwa kealamian pulau ini harus dipertahankan sehingga kegiatan YPI di sana tidak terlalu “mengganggu” pulau itu dengan cara:

  1. Tidak memakai pasir di Pulau Belambangan untuk mendirikan bangunan
  2. Tidak memotong pohon yang ada di sana untuk memberikan ruang bagi bangunan pos monitoring YPI
  3. Mengangkut keluar Pulau Belambangan semua limbah yang tidak dapat diolah, misalkan sampah logam atau kaca
  4. Menggunakan toilet biogas sehingga kotoran tidak mencemari air tanah

Contoh WC portable di salah satu camp perlindungan penyu di Cape Verde – Afrika milik Fundacao Tartaruga

Kotoran dari WC akan ditampung dalam reaktor biogas portable dengan bahan dari plastik-karet fleksibel. Reaktor ini sangat portable, sehingga apabila alat ini tidak digunakan maka bisa digulung sedemikian rupa. Limbah dari reaktor ini ada dua yaitu air hitam dan lumpur. Keduanya  sangat ramah lingkungan dan dapat dialirkan ke tanaman sebagai pupuk. Konsep biogas portable semacam ini meniru sistem higienis pembuangan kotoran yang diterapkan dalam camp-camp perlidungan penyu milik Fundacao Tartaruga di Cape Verde, Afrika.