Pembesaran tukik di Tanjung Benoa Bali
Headstarting selalu menjadi bahan kontroversi diantara para ahli penyu dunia (catatan: perdebatan itu ditampakan oleh Dodd, Ehrenfeld, Klima and McVey, and Reichad). Namun walaupun begitu di negara dimana penyu berada, orang-orang di sana kerap sekali melakukan kegiatan headstarting. Donnelly (1994) banyak sekali mengulas kasus-kasus semacam ini dan menyajikan evaluasi detil mengenai mengapa tiga program pembesaran tukik (headstarting) yang paling penting dengan biaya terbesar di dunia dengan rentang waktu terlama harus diakhiri. Berikut adalah tiga program tersebut:Tukik mati di kolam pembesaran tukik. Foto : PROFAUNA
Program headstarting yang mendapatkan dana paling banyak, terutama yang berada di Galveston Lab of NMFS dan Cayman Turtle Farm (keduanya didukung dengan dana multi juta dolar Amerika), telah menghasilkan informasi penting tentang upaya peternakan penyu, perilaku dan psikologinya (Caillouet and Landry 1989 ; Caillouet 1993). Beberapa mengatakan bahwa program headstarting telah meningkatkan perasaan nyaman (karena telah berkontribusi terhadap pelestarian penyu) dan meningkatkan perhatian publik terhadap penyu (Allen 1990, 1992). Orang lain berpendapat kalau hanya untuk memenuhi tujuan menghasilkan informasi penting (tentang perilaku penyu dan psikologinya), maka seharusnya tidak perlu melibatkan sedemikian banyak tukik, dan perasaan nyaman akan headstarting (oleh manusia) telah menyedot dana sedemikian banyak yang seharusnya bisa dipergunakan untuk program-program konservasi penyu yang lain yang sebenarnya lebih efektif namun tidak terlalu populer(Mortimer 1988; Woody 1990, 1991; Donnelly 1994). Pada akhirnya, keberhasilan teknik headstarting sebagai teknik konservasi (alat menejemen) akan terbukti ketika proporsi/ jumlah penyu betina yang berhasil bertelur hasil headstarting lebih banyak daripada penyu yang bukan hasil headstarting (alami) (Mrosovsky 1983; Mortimer 1988 ; National Research Council 1990; Eckert et al. 1994). Kemudian yang paling penting adalah bahwa penyu yang diheadstarting seharusnya bertelur di pantai yang sama sehingga dapat berguna untuk mempertahankan kelestarian jenis pada populasi di pantai tersebut (Bowen et al . 1994). Headstarting selalu dianggap sebagai sebuah kegiatan percobaan/ eksperimen, namun hingga sekarang headstarting masih saja dilakukan tanpa struktur yang jelas dan tidak memiliki kontrol yang baik. Untuk menanggulangi ini, berdasarkan anjuran dari Wibbels et al. (1989) and Eckert et al.(1994) penghentian program headstart terhadap penyu kempi dilanjutkan dengan penandaan terhadap tukik liar (sebagai kontrol) dan monitoring terhadap penyu kempi yang dibesarkan yang sudah dilepas liarkan ke alam (Byles 1993 ; Williams 1993 ; Donnelly 1994). Studi percontohan berdasarkan analisa nilai pembiakan (Crouse et al. 1987) menunjukan bahwa headstarting sepertinya tidak akan bisa mencapai tujuan mendasarnya yaitu; meningkatkan populasi dengan meminimalisir kematian tukik dan penyu remaja di alam (National Research Council 1990). Hepel dan Crowder (1994) mengevaluasi populasi penyu Kempi berdasarkan usia dan fase kehidupan, kemudian menyimpulkan bahwa headstarting tidak bisa dianggap sebagai metoda konservasi, karena jumlah tukik yang dibesarkan tidak akan cukup untuk menggantikan hilangnya penyu dewasa yang produktif. Kegiatan headstarting hanya berfokus kepada mengurangi kematian alami pada tukik, tanpa memperhatikan penyebab utama berkurangnya spesies penyu ini antara lain; eksploitasi penyu dan telurnya, peralatan nelayan yang tidak ramah penyu dan perusakan habitat. Headstarting bukanlah sebuah pilihan untuk program konservasi dengan dana terbatas.