Produk Berbahan Karapas Penyu Sisik
Perdagangan Ilegal produk penyu yang memanfaatkan karapasnya yang cantik
Jika kecantikan dianggap sebagai kutukan, penyu sisik akan menjadi poster. Meskipun penyu sisik menghadapi banyak sekali ancaman dari aktivitas manusia, seperti halnya semua penyu, permintaan terhadap karapas mereka tetap menjadi hambatan yang serius bagi kelangsungan hidup mereka. Pada abad terakhir, populasi penyu sisik global telah menurun hingga 90% karena permintaan akan karapas mereka. Meskipun sudah dilarang sesuai dengan undang-undang, namun perdagangan produk mengandung karapas penyu sisik masih saja terjadi baik di toko suvenir maupun di jejaring online seperti platform jual beli online maupun sosial media
Bagaimana Penggunaannya?
Sejak zaman kuno, penyu sisik telah diburu karena cangkangnya yang indah yang terdiri dari sisik warna-warni yang tumpang tindih dalam nuansa emas dan cokelat dan oranye, yang disebut sisik. Sisiknya dipoles dan digunakan untuk membuat sisir, perhiasan, kacamata, ornamen, dan barang-barang mewah dan dekoratif lainnya. Biasa disebut sebagai kulit penyu, atau “bekko” di Jepang, “pendok’ di Bali, dan “goyo” di Nias. Perdagangan ilegal penyu sisik telah mendorongnya ke ambang kepunahan. Di Jepang, sisir bekko masih dipakai sebagai bagian dari pakaian pernikahan tradisional mereka.
Penyu utuh juga dikeringkan (opsetan) dan dijual utuh sebagai wall hangings dan curios. Dalam beberapa dekade terakhir, pengiriman besar penyu sisik menuju pasar gelap telah dicegat oleh lembaga penegak hukum di seluruh dunia. Pada tahun 2014, otoritas Filipina mencegat kapal penangkap ikan Tiongkok yang membawa 500 kura-kura hidup dan mati menuju pasar gelap. Karena perdagangan ilegal terorganisir terjadi lintas batas, penegakan kerja sama antar negara sangat penting dalam mengatasi masalah tersebut.
Sejarah Perdagangan
Pada tahun 1977 perdagangan karapas penyu sisik dilarang oleh CITES, Konvensi Perdagangan Internasional untuk Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah. CITES adalah perjanjian internasional yang ditaati oleh para pihak sukarela (negara). Pada saat ini, penyu sisik terdaftar di Appendix 1 CITES yang mencakup spesies yang terancam punah. Lampiran 1 memungkinkan untuk perdagangan penyu sisik dan bagian-bagiannya hanya sebagaimana diizinkan dalam keadaan luar biasa.
Laporkan Perdagangan Karapas Penyu Sisik
Pada tahun 1980, ketika bergabung dengan CITES, Jepang mengambil pengecualian terhadap perjanjian perdagangan penyu sisik dan perdagangan karapas penyu sisik berlanjut. Dikenal karena seni bekko mereka sejak tahun 1700, diperkirakan bahwa Jepang mengimpor dua juta penyu antara tahun 1950 dan 1992 untuk memasok industri ini. Karena tekanan internasional yang terus menerus, Jepang setuju untuk berhenti mengimpor karapas penyu sisik pada tahun 1993, namun persediaan karapas penyu sisik tetap. Karapas yang ditimbun membuat penegakan hukum menjadi sulit karena hampir tidak mungkin untuk menentukan apakah karapas yang disita adalah stok baru atau lama. Karena itu, beberapa negara telah mendorong penghancuran stok, karena negara-negara lain duduk menunggu dimulainya kembali perdagangan legal.
Situasi Saat Ini
Penyu sisik terdaftar sebagai Sangat Terancam Punah dan dalam penurunan oleh Daftar Merah IUCN, Uni Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam, sebuah organisasi global yang menilai status konservasi spesies di seluruh dunia. Di Amerika Serikat mereka terdaftar sebagai Terancam Punah. Diperkirakan hanya 15.000-20.000 betina yang bersarang di seluruh dunia, sebagian kecil dari populasi sebelumnya.
Hari ini pasar gelap terus berlanjut dan menurut Fish & Wildlife Service A.S., industri bekko Jepang tetap utuh. Survei terbaru di Amerika Latin telah menunjukkan ketersediaan luas dari produk-produk ini; di Kuba, sekitar 70% toko menawarkan karapas penyu dan di Nikaragua, produknya ditemukan di lebih dari 90% toko suvenir.
Di Indonesia, masih banyak ditemukan toko menjual karapas penyu sisik. Dari survei yang dilakukan oleh PROFAUNA Indonesia, suvenir berbahan karapas penyu sisik masih banyak dijual di Bali, Nias, dan Juga di Situs jual beli online. Umumnya, suvenir yang dijual berupa gelang, cincin, kalung, kipas tangan, opsetan, aksesoris rambut, dan juga peralatan dekorasi lainnya. Dari perhitungan ketersediaan barang dan harga yang ditawarkan, nilainya hampir mencapai 5 milyar rupiah. Biasanya turis yang membelidan membawanya pulang sering tidak menyadari bahwa mereka berkontribusi terhadap penurunan spesies yang terancam punah.
Yayasan Penyu Indonesia, PROFAUNA Indonesia, Too Rare To Wear, Turtle Foundation, dan USFWS telah memulai kampanye yang bertujuan untuk mengurangi permintaan akan produk-produk karapas di Indonesia yang bertajuk “Keren Tanpa Memakai Sisikku” yang bekerja sama dengan operator tur dan organisasi pariwisata untuk memberikan pemahaman kepada pelancong dan juga masyarakat Indonesia agar tidak lagi membeli produk berbahan penyu sisik.