Kapan Saatnya Membangun Sarang Semi Alami/ Hatchery?

Idealnya telur-telur penyu itu dibiarkan menetas di sarang alaminya. Kegiatan relokasi telur hanya boleh dilakukan sebagai pilihan terakhir, apabila perlindungan terhadap sarang alaminya (in situ) tidak mungkin dilakukan. Dalam beberapa kasus, relokasi telur penyu hanya mendatangkan hasil positif apabila induk penyu menaruh telurnya di tempat-tempat yang berbahaya, sebagai contoh; sarang terlalu dekat dengan garis laut, terlalu dekat dengan cahaya buatan (lampu), sarang berada dibelakang garis beton penahan ombak (yang akan menyulitkan tukik menuju laut), sarang berada pada daerah abrasi, sarang berada di dekat jalan atau trotoar (yang memungkinkan sarang dan tukik akan terinjak). Namun dalam banyak kasus penetasan secara (in situ) adalah pilihan yang paling baik.

Di banyak tempat di seluruh dunia, pencurian telur oleh manusia atau pemangsaan oleh binatang domestik, dampaknya sangat luar biasa serius sehingga dapat menyebabkan kematian telur hingga 100%. Apabila di suatu tempat manusia menjadi predator utama, maka sebaiknya telur penyu harus direlokasi, dan sarang penetasan semi alami (hatchery) harus dijaga setiap saat.

Namun harap diperhatikan bahwa proses relokasi telur penyu ke sarang semi alami (hatchery) seringkali mendatangkan resiko lebih besar daripada resiko yang timbul karena pemangsaan yang dilakukan oleh binatang predator alami. Oleh karena itu diharapkan kepada para pelaku konservasi penyu agar membandingkan serta memperhitungkan secara serius keuntungan dan kerugian program relokasi telur jika dibandingkan dengan membiarkannya sarang penyu menetas secara alami.

Dibeberapa tempat, pemangsaan oleh binatang domestik (yang bukan predator alami telur/ tukik) bisa menjadi sangat serius, sehingga program semi alami dipebolehkan. Binatang yang bukan predator alami tersebut antara lain anjing, kucing dan babi. Selain itu ada kemungkinan ada beberapa spesies binatang yang secara tidak alami membengkak populasinya karena kehadiran manusia. Kondisi seperti ini dapat terjadi apabila manusia berkompetisi mendapatkan mangsa alami  (dengan cara berburu) dari binatang predator alami telur penyu (seperti; musang, tikus dan elang), atau malah karena manusia telah menghilangkan musuh alami dari predator telur penyu. Dengan kenyataan seperti ini maka pemberantasan predator alami dapat dipertimbangkan sebagai tindakan alternatif dari hatchery.

Daftar Kekurangan Sarang Semi Alami (Hatchery)

Karena program sarang semi alami (hatchery) memiliki sederetan kelemahan, maka penilaian yang mendalam harus dilaksanakan dengan mengesampingkan pilihan yang manipulatif serta tidak praktis atau tidak efektif. Sebelum melaksanakan program hatchery, sebaiknya dipertimbangkan beberapa hal, antara lain sebagai berikut:

  • Program semi alami (hatchery) adalah sebuah program yang sangat mahal dan membutuhkan banyak sumber daya manusia untuk mengumpulkan dan merawat masing-masing telur yang telah direlokasi.
  • Efektifitas dari program ini sangat bergantung kepada orang ahli yang terlatih, staf yang dapat dipercaya, namun seringkali budget yang ada hanya memungkinkan untuk membayar orang dengan gaji yang sangat minim (atau terpaksa mengerahkan tenaga volunteer sepenuhnya)
  • Biasanya tingkat keberhasilan penetasan di dalam sarang semi alami (hatchery) sangat rendah jika dibandingkan dengan penetasan di sarang alami, walaupun telah mengerahkan tenaga profesional.
  • Perbandingan jenis kelamin (sex ratio) seringkali tidak seimbang, bergantung pada kondisi di sarang semi alami (hatchery).
  • Cara pelepasan yang tidak perlu akan meningkatkan resiko kematian tukik (bayi penyu). Ketika tukik dilepaskan secara teratur di tempat yang sama, maka hal ini akan mendorong ikan untuk membangun sebuah “stasiun makan”, jadi ikan-ikan predator tukik akan menghafalkan titik pelepasan tukik ini. Tambah lagi tukik-tukik yang dilepaskan (biasanya pagi hari) sudah mengalami kelelahan akibat dari upaya sia-sia tukik mencari jalan menuju laut. Tukik biasanya menetas beberapa jam setelah matahari terbenam dan akan berjalan berputar-putar tidak menentu di sekitaran sarang semi alami (hatchery) sepanjang malam. Pada malam itu juga ada resiko besar bahwa tukik akan mati karena dimangsa semut, kepiting, burung, tikus, kucing, anjing, atau mamalia kecil.
  • Program sarang semi alami (hatchery) yang dilakukan untuk mengurangi resiko kematian tukik, dapat menimbulkan resiko besar sebuah ketergantungan pada campur tangan manusia, yang sebenarnya tidak realistis dilakukan setiap waktu dan dalam jangka panjang.
  • Program sarang semi alami juga memiliki dampak negatif yang besar terhadap psikologi manusia. Program sarang semi alami sangat membutuhkan tenaga manusia yang besar, seringkali pengelola mempromosikan kegiatannya bahwa mereka telah melaksanakan sebuah kegiatan yang baik untuk penyu lebih banyak daripada yang sebenarnya. Sebagai hasilnya program alami yang pada faktanya lebih efektif namun tidak menarik secara politik, mungkin akan diabaikan.

Metodologi Sarang Semi Alami Yang Direkomendasikan

Konstruksi Dan Penempatan Sarang Semi Alami

Sarang semi alami harus sedapat mungkin dibangun di dekat pantai untuk meminimalisir trauma fisik akibat dari proses pengangkutan telur penyu, dan untuk mengurangi lamanya waktu diantara induk penyu bertelur dan telur-telur itu ditanam di sarang semi alami. Penempatan sarang semi alami yang dekat dengan pantai juga akan memberikan kesempatan kepada embrio dan tukik untuk menjalani masa imprinting (menghafalkan situasi dan kondisi lingkungan sekitar pantai). Untuk memaksimalkan keanekaragaman situasi dan kondisi dari lingkungan di mana telur itu ditanam, maka diperlukan membangun hatchery lebih dari satu, lebih banyak lebih baik. Sarang semi alami harus didirikan persis menyerupai sarang alaminya. Harus diingat bahwa suhu di sarang semi alami harus mewakili suhu di sarang alami.

Semua spesies penyu bertelur diatas garis air laut di pantai. Permukaan dari sarang semi alami setidaknya harus dibangun 1 meter secara vertikal dari titik tertinggi air pasang naik, untuk menghindari banjir bawah pasir yang akan mengakibatkan busuknya telur. Hindari membangun sarang semi alami di wilayah yang terdampak ombak atau terlalu dekat dengan muara sungai yang tidak dapat diprediksi waktu banjirnya sehingga beresiko merusak sarang semi alami. Sarang semi alami mesti dipagari dan diberikan kawat kasa. Untuk menghindarkan telur dari kepiting atau binatang yang bisa membuat terowongan, maka kawat kasa perlu ditanam setidaknya di kedalaman 0,5 meter di dalam tanah. Dan untuk menghindari jamur atau bakteri, pasir di dalam sarang semi alami tidak boleh dipakai menetaskan telur penyu lebih dari satu musim peneluran.

Di pantai-pantai yang mengalami masalah abrasi di titik tertentu, atau mengalami gangguan secara tidak sengaja dari manusia (bukan sebagai tindakan eksploitasi), maka sarang yang mengalami ancaman tersebut dapat dipilih secara selektif untuk kemudian ditanam lagi di pantai yang sama di titik yang lebih aman dan bebas dari ancaman. Dalam kasus dimana hewan predator dan manusia bukan ancaman serius maka yang terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan tidak membangun sarang semi alami, namun dengan memberikan sebuah jala silinder yang akan melindungi sarang tersebut. Dengan cara seperti ini maka tukik yang menetas tidak lagi perlu tergantung kepada manusia dalam proses menuju ke laut.

Berapa Banyak Telur Yang Perlu Direlokasi?

Banyak pelaku konservasi yang percaya bahwa untuk mengelola populasi sarang yang sehat, maka setidaknya 70% telur/ sarang seharusnya dilindungi/ diamankan. Namun dalam beberapa kasus, ditempat-tempat yang tercatat mengalami over eksploitasi, maka diperlukan pengamanan telur hingga 100%. Di beberapa tempat dengan pola cuaca yang tetap menyebabkan tukik menetas sebagai jantan pada satu musim, dan pada musim yang lainnya tukik akan menetas menjadi betina. Untuk menjamin rasio jenis kelamin yang berimbang maka program hatchery diperlukan untuk dijalankan secara konstan sepanjang musim, dalam jumlah yang cukup.

Pengumpulan Telur Dan Pengiriman

Untuk mengurangi resiko kematian dari embrio, maka semua telur sudah harus di ditanam/ dikubur dalam waktu 2 jam (tidak boleh ada telur yang dibiarkan di udara terbuka dalam waktu 5 jam). Secara teknis pekerja diperkenankan untuk menadahi dengan kedua tangan telur yang baru saja dikeluarkan induknya, untuk kemudian ditaruh dengan lembut ke dalam ember yang sudah diisi pasir. Cara yang lain adalah dengan menempatkan tas kresek plastik besar di dalam sarang, dibawah kloaka penyu. Sedapat mungkin diupayakan jangan sampai merobohkan lubang telur atau mengganggu penyu, juga diusahakan agar telur penyu langsung jatuh kedalam tas kresek plastik tanpa telur tertempel pasir (ini lebih baik). Pekerja harus cermat dan segera mengambil telur yang berada dalam tas kresek tersebut sebelum induk penyu mengubur telur. Setelah itu letakan tas kresek kedalam ember. Namun di lain situasi, telur hanya bisa diambil setelah induk penyu kembali ke laut. Semua telur harus diperlakukan dengan sangat lembut, apabila telur-telur itu dikirim dengan kendaraan maka harus diusahakan telur-telur tersebut diberikan bantalan agar tidak berbenturan.

Penanganan terhadap telur yang berusia lebih dari dua jam harus diberikan perhatian khusus (Sebagai contoh; telur yang ditemukan di pagi hari atau telur yang sudah setengah masa inkubasi namun terancam abrasi) Membran yang lembut dari telur penyu yang lebih tua dapat dengan mudah sobek apabila mengalami jungkir balik atau terputar. Diperlukan sebuah penandaan bagian atas dengan alat tulis (agar dapat dipastikan telur tidak terbalik). Untuk pengiriman maka diperlukan sebuah ember atau perkakas lain yang tidak elastis (jangan memakai tas kresek) supaya telur tidak tertekan dan tidak berputar dan jungkir balik.

Penanaman Telur Penyu

Sebisa mungkin diupayakan bahwa situasi di sarang semi alami (hatchery) menyerupai situasi dan mikrohabitat sarang alaminya. Masing-masing sarang semi alami perlu diberi jarak minimal satu meter supaya masing-masing sarang tidak saling memberikan pengaruh, selain itu dengan jarak satu meter akan memberikan tempat yang cukup bagi pekerja untuk berjalan dengan aman di hatchery. Sarang sebaiknya dibuat dengan bentuk seperti botol atau kendi, dimana membulat dibagian bawah dan lurus ke bagian atas hingga kepermukaan. Kedalaman sarang semi alami harus meniru seperti sarang aslinya.

Apabila penggalian sarang semi alami menemui kendala yaitu dinding lubang roboh (utamanya pada saat musim kering) maka bisa diakali dengan menyiram air kepada pasir kemudian diteruskan menggali. Telur harus dimasukan kedalam sarang semi alami dengan sangat lembut, dan sebaiknya berusia kurang dari dua jam. Pasir yang lembab tadi dipakai untuk menutupi telur dengan ketebalan antara 8-12 cm. Pasir yang kering seharusnya tidak menempel secara langsung dengan telur, dan sebaiknya dipakai sebagai penutup bagian terluar sarang semi alami saja. Setiap sarang seharusnya ditandai sesuai dengan data pencatatan yang ada (lih; miller)

Jala silinder

Beberapa pengelola konservasi menyarankan untuk meletakan jala silinder diatas tiap-tiap sarang. Sebaiknya jala terbuat dari nilon berukuran kurang dari 1cm. Kawat jaring ayam tidak boleh dipakai di sini karena lebar lubangnya terlalu besar sehingga beresiko melukai tukik ketika kepala dan “flipper”nya tersangkut. Jala nilon dipotong dengan tinggi 40 cm dan lebar 195 cm untuk membentuk sebuah silinder dengan ukuran diameter 60 cm. Sebuah tongkat logam dengan diameter 0,25 cm untuk menyatukan kedua ujung jala nilon  silinder dan untuk memantapkan jala tersebut ke dalam tanah. Jala tersebut harus menancak kedalam tanah setidaknya sedalam 10 cm untuk menghindarkan sarang dari hewan bawah tanah seperti kepiting. Diatas jala nilon silinder tersebut dapat diberikan penutup dari jala nilon juga atau jala nyamuk, bergantung kepada tingkat keseriusan predator di sekitar sarang.

Dengan cara seperti ini ada keuntungan yang bisa didapat yaitu tukik yang menetas dapat dihitung, dicatat dan pengumpulan data bisa sangat presisi. Namun ada efek negatifnya juga yaitu daripada tukik langsung pergi ke air, semua tukik dapat mengalami kelelahan sehingga tidak lagi lincah, atau malah menghadapi resiko mati karena diincar predator.

Melepas Tukik

Dalam keadaan yang alami sekelompok tukik akan memasuki perairan di titik yang random dan dalam waktu yang tidak bisa dipastikan. Idealnya tukik yang menetas dari sarang semi alami harus langsung dilepas ke laut begitu mereka muncul dari pasir. Namun sebaiknya tukik ditahan sebentar untuk menunggu saudaranya muncul dari pasir, tujuannya adalah untuk membentuk kelompok yang lebih besar. Untuk membuat titik pelepasan yang random (untuk menghindari terbentuknya “stasiun makan” ikan), maka setiap titik pelepasan harus berjarak ratusan meter dari titik yang lainnya.

Setiap personil yang menjaga sarang semi alami harus mengantisipasi kemunculan tukik (tidak akan ada tukik yang muncul sebelum 45-55 hari)  dan mengecek jala nilon secara periodik (biasanya antara 30 menit hingga satu jam sekali). Untuk memastikan proses imprinting, tukik harus dibiarkan merangkak diatas pasir menuju pantai tanpa bantuan. Jika tukik tidak memungkinkan untuk dilepas secara langsung maka tukik harus disimpan ditempat yang gelap, tidak berisik dan lembab (seperti kamar mandi, tetapi harus dipastikan orang tidak keluar masuk kamar mandi apalagi mandi dan membuat keributan). Harap diperhatikan bahwa tukik jangan sampai disimpan di dalam sebuah ember yang berisi air laut, karena apabila tukik disimpan dengan cara seperti itu maka tukik akan masuk kedalam masa yang disebut dengan masa “Frenzy” yaitu tukik akan terus berenang berputar-putar ember hingga menghabiskan energi yang tersimpan di dalam zat kuning telur “yolk” yang berada di dalam perutnya. Dengan cara seperti ini dikhawatirkan bahwa tukik akan lebih banyak menghafalkan situasi di dalam ember daripada di dalam laut.

Teknik Khusus

Teknik penetasan khusus telah dipakai dengan tingkat keberhasilan yang beraneka ragam di beberapa tempat. Di Filipina, di pulau penyu di Sabah, di pantai pasifik di Guatemala dan dibeberapa tempat lain, sarang semi alami yang panas telah dicurigai telah menghasilkan tukik berjenis kelamin betina seluruhnya. Untuk itu sebagian dari sarang semi alami telah diberikan teduhan berupa tutupan daun kelapa. Di Malaysia satu sarang akan dibagi dua dengan perbandingan 60:40 masing-masing ditanam di dua sarang semi alami yang berbeda telah mendorong suksesnya penetasan (Mortimer et al., 1994).

Di Pantai Natal, Afrika Selatan, penetasan sukses dilakukan di dalam sarang yang diletakan di dalam jala nilon silinder, kemudian ditanam di dalam sarang semi alami di dalam keranjang (G. Hughes, Natal Parks Board, in litt 14 September 1988). Namun ketika teknik yang sama diterapkan di Malaysia malah mengakibatkan kematian 100% telur pada tahap pembentukan embrio dan tahap tukik (Mortimer and Aikanathan, unpubl. Data). Di Australia mendinginkan suhu sarang hingga suhu 7 – 10°celcius dalam beberapa jam akan membantu menghambat proses pembentukan membran embrio dalam waktu yang cukup untuk relokasi telur penyu hingga 1000 km tanpa mempengaruhi kemampuan hidup telur tersebut (Harry and Limpus, 1989).

Sarang yang berusaha ditetaskan di dalam kotak sterofoam dapat mendongkrak tingkat keberhasilan penetasan tukik, namun teknik ini membutuhkan ketelitian dan upaya yang lebih untuk menciptakan suhu dan kelembaban yang cocok bagi sarang. Temperatur yang dingin akan membuat lebih banyak tukik jantan. Memanaskan sarang dengan panas buatan akan membuat hilangnya kelembaban, penambahan kelembaban dengan air tawar diperlukan, namun jangan sampai terlalu basah. Sebaiknya kotak sterofoam dilubangi di seluruh bagian bawah dengan lubang 0,5 cm dengan masing-masing jarak lubang adalah 5 cm agar kotak sterofoam tidak banjir.

Potonglah tiga lembar kain nilon yang harus lebih lebar dari luas lantai kotak sterofoam, tempatkan kedalam kotak dalam urutan sebagai berikut: dimulai dari alas kotak, letakan satu lembar kain nilon, kemudian beri lapisan pasir pantai yang lembab setebal 10 cm, tumpangi lagi dengan selembar kain nilon, kemudian berikan tiga atau empat lapis telur penyu segar dari induk penyu, tutup dengan selembar kain nilon, dan tumpangi dengan pasir pantai yang lembab sekitar 10 cm lagi. Ketika saatnya telur mulai menetas, maka lapisan nilon dan pasi bagian atas perlu diambil dan kotak sterofoam perlu ditaruh ditempat yang sejuk dan gelap untuk menjaga kelembaban.

Tukik yang baru menetas harus tetap berada di dalam kotak sterofoam yang tertutup hingga yolk/ kuning telur secara sempurna masuk ke dalam perut tukik sehingga perutnya rata. Tidak ada orang yang tahu apakah kotak sterofoam akan mempengaruhi proses imprinting tukik karena kekurangan data mengenai tukik akan merekam keadaan pasir dalam pantai tempat mereka ditetaskan. Namun yang diketahui dengan pasti adalah bahwa tanpa campur tangan dan monitoring yang cermat maka cara ini akan mengacaukan rasio jenis kelamin, dan jika sudah seperti ini maka tujuan konservasi tidak akan tercapai. Di Malaysia produksi tukik betina selama satu dekade telah mengakibatkan kemandulan bagi telur dari penyu-penyu belimbing  (Chan and Liew, 1996).

Evaluasi dan Monitoring

Idealnya sampel dari sarang harus selalu diawasi dan dimonitor suhunya di masing-masing sarang di sarang semi alami, dan ini bisa terlaksana dengan menggunakan teknik kotak sterofoam, tujuannya adalah untuk mengupayakan keseimbangan rasio jenis kelamin jantan dan betina (simak Godfrey dan Mrosovsky, 1994, untuk melihat metodologi-nya). Untuk memastikan kesuksesan dari sarang tersebut, maka sarang harus digali pada akhir masa penetasan (see Miller)

Literature Cited

 Chan, E.-H. and H.-C. Liew. 1996. Decline of the leatherback population in Terengganu, Malaysia, 1956-1995. Celonian Conservation and Biology2:196-203.

Godfrey, M. H. and N. Mrosovsky. 1994. Simple method of estimating mean incubation temperatures on sea turtle beaches. Copeia 1994:808-811.

Harry, J. L. and C. J. Limpus. 1989. Low-temperature protection of marine turtle eggs during long-distance relocation. Australian Wildlife Research 16:317-320. Mortimer, J. A., A. Zaid, K. Safee, M. Dzuhari, D. Sharma and S. Aikanathan. 1994. Evaluation of the practice of splitting sea turtle egg clutches under hatch- ery conditions in Malaysia, p.118-120. In: B. A.

Schroeder and B. E. Witherington (Compilers), Proceedings of the Thirteenth Annual Symposium on Sea Turtle Biology and Conservation. NOAA Technical Memorandum NMF

Research and Management Techniques for the Conservation of Sea Turtles Prepared by IUCN/SSC Marine Turtle Specialist Group

Edited by Karen L. Eckert

Karen A. Bjorndal

  1. Alberto Abreu-Grobois
  2. Donnelly