Jakarta, September 2025 –  Pertemuan jejaring konservasi penyu belimbing Indonesia diselenggarakan di Hotel Gren Alia Cikini, Jakarta pada 9–10 September 2025. Acara ini diselenggarakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP RI), mempertemukan berbagai lembaga nasional dan internasional yang berkomitmen dalam perlindungan penyu khususnya di Indonesia. Dari NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) hadir sejumlah ahli yaitu Summer Martin, John Wang, Michael Liles, dan Peter Dutton. Yayasan Penyu Indonesia turut menghadiri kegiatan ini diwakilkan oleh Meriussoni Zai selaku Program Director. Pada tahun 2023, YPI telah membentuk jejaring konservasi penyu belimbing subpopulasi Samudera Hindia Timur Laut melalui aliansi EIOLA (East Indian Ocean Leatherback Alliance).

Penyu belimbing (Dermochelys coriacea) adalah penyu terbesar di dunia sekaligus salah satu yang paling terancam punah. Hewan laut raksasa ini bisa tumbuh lebih dari dua meter panjangnya dan berat lebih dari 500 kilogram. Indonesia menjadi habitat penting bagi penyu belimbing untuk mencari makan dan bertelur, menjadi mandat yang besar untuk  terus melangsungkan upaya perlindungannya.  

Peta Jalan Perlindungan Penyu 

Acara ini dibuka dengan pemaparan umum dari Direktorat Konservasi Spesies dan Genetik KKP RI mengenai Rencana Aksi Nasional Konservasi Penyu atau National Plan of Action (NPOA) tahun 2024-2029. Ini ibarat peta jalan lima tahun ke depan bagi Indonesia dalam menjaga penyu, termasuk penyu belimbing sebagai salah satu fokus utama. NPOA menekankan bahwa penyu belimbing berada dalam kondisi kritis, sehingga berbagai upaya harus dilakukan secara serius dan terukur. Upaya itu mencakup perlindungan habitat peneluran, penanganan ancaman bycatch atau penyu yang tertangkap tidak sengaja oleh nelayan, hingga riset genetika untuk memahami jalur migrasi serta struktur populasi penyu. 

Yang menarik, NPOA juga menegaskan pentingnya kolaborasi. Perlindungan penyu bukan hanya urusan pemerintah, tetapi harus melibatkan universitas, lembaga penelitian, LSM, komunitas pesisir, bahkan mitra internasional. Dengan adanya NPOA, semua pihak kini memiliki acuan bersama agar upaya konservasi tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan saling melengkapi. 

Cerita dari Lapangan 

Lembaga lembaga yang hadir mendapatkan kesempatan untuk memaparkan presentasi mengenai upaya perlindungan penyu belimbing yang dilaksakanan di masing-masing wilayah program. Universitas Papua (UNIPA) mempresentasikan cerita dari Papua Barat Daya, sementara WWF Indonesia menyoroti cerita dari Maluku. Yayasan Penyu Indonesia dan Ecosystem Impact membagikan kisah perlindungan penyu yang mereka jalankan di Sumatera. Sesi ini juga membahas bagaimana masyarakat pesisir dapat ikut merasa memiliki dan menjadi garda terdepan konservasi. 

Selain itu, ada sesi mengenai penelitian genetika penyu belimbing yang dipaparkan oleh BRIN, UNIPA, NOAA, dan Bionesia. Hari pertama ditutup dengan diskusi pleno yang mempertemukan semua peserta dalam tanya jawab terbuka, menyatukan perspektif dari berbagai latar belakang. 

Ilmu Pengetahuan dan Kolaborasi Global 

Hari kedua, para pakar dari NOAA membagikan pengetahuan tentang pemodelan populasi penyu belimbing, menjelaskan bagaimana spesies raksasa ini memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut. Mereka juga mengupas isu bycatch serta pemantauan perikanan dengan teknologi baru, membahas keterlibatan organisasi pengelola perikanan regional (RFMO), dan memperkenalkan alat-alat genomik terbaru yang saat ini berkembang pesat untuk penelitian genetika penyu. 

Tak hanya itu, WWF Coral Triangle mempresentasikan inisiatif ShellBank, sebuah bank data genetika penyu yang memungkinkan peneliti melacak asal-usul penyu, serta program Blue Corridors yang bertujuan menciptakan jalur migrasi aman di laut lepas. Seluruh rangkaian acara kemudian ditutup dengan pembahasan koordinasi lanjutan serta langkah konkret berikutnya dalam memperkuat jejaring konservasi. 

Rencana Tindak Lanjut  

Pertemuan ini tidak berhenti pada diskusi, melainkan menghasilkan serangkaian rencana tindak lanjut yang konkret. Salah satu prioritas utama adalah mengumpulkan data yang lebih lengkap dan sistematis, mencakup data bycatch (penyu yang tertangkap tidak sengaja), keterdamparan, kemunculan, peneluran, hingga informasi genetik. Data ini akan dihimpun dari berbagai pihak, mulai dari perguruan tinggi, pemerintah daerah, mitra konservasi, hingga komunitas lokal. 

Untuk memastikan koordinasi berjalan baik, jejaring ini sepakat menyusun roadmap konservasi penyu belimbing serta membentuk forum kecil sehingga memudahkan diskusi lanjutan. Identifikasi data genetik yang sudah ada dan tersedia, agar dapat dikembangkan lebih lanjut untuk mendorong kebijakan. Mekanisme pengelolaan sumber daya genetik penyu belimbing di Indonesia akan disiapkan secara terukur. 

Untuk memimpin koordinasi, telah ditunjuk sejumlah penanggung jawab kelompok kerja: Deasy Lontoh (UNIPA), Ranny Yuneni (WWF), Iman Wahyudin/Prabowo (KKP), dan Andreanus Sembiring (Bionesia). Kelompok kerja ini juga diperkuat oleh para pakar NOAA, yakni Peter Dutton yang fokus pada kolaborasi genetika, Summer Martin dan John Wang pada isu bycatch, serta Michael Liles pada kerja sama tingkat regional. 

Dengan struktur yang jelas, dukungan data, serta kolaborasi lintas lembaga, harapannya jejaring konservasi ini mampu menjadi motor penggerak dalam menyelamatkan penyu belimbing. Bersama mengupayakan keberlangsungan satwa purba yang telah hidup sejak zaman dinosaurus dan memastikan laut Indonesia tetap sehat bagi generasi yang akan datang. 

Yayasan Penyu Purpose

Selamatkan Penyu dari Kepunahan

Penyu menghadapi berbagai ancaman, termasuk perburuan liar, pencemaran plastik, dan kerusakan habitat.

Setiap langkah Anda mendukung perlindungan penyu dan buat dampak nyata!

Lakukan Donasi
Donasi anda Mendukung : Pelepasan Tukik ke habitat alami Pelepasan Tukik ke habitat alami Perlindungan dan pemantauan sarang penyu Perlindungan dan pemantauan sarang penyu Penanganan dan pembersihan pantai dari sampah Penanganan dan pembersihan pantai dari sampah
© Turtle Foundation